Saturday, December 04, 2010

Pengertian ilmu yang bermanfaat




ILMU? hmmm...bila disebut tentang ilmu, Ilmu itu ibarat cahaya.Dengan ilmu hidup kita jadi terang,tanpa ilmu, hidup tidak bermakna.Imu yang pertama wajib kita pelajari ialah MA'RIFATULLAH (MENGENAL ALLAH). Pengertian ilmu amatlah luas dan banyak cabang-cabang ilmu...bukan semua ilmu kita boleh ambil dan praktikkan..ilmu yang kita mahu pelajari mestilah ilmu yang jelas dan benar dari segi syarak.Ilmu sangat penting sehinggakan Surah yang pertama diturunkan oleh Allah ialah tentang ilmu iaitu "IQRA", bacalah..daripada kita membacalah kita memperoleh ilmu. Apabila meninggal seseorang anak Adam itu maka terputuslah amalannya melainkan 3 perkara iaitu ILMU YANG BERMANFAAT, SEDEQAH DAN DOA ANAK YANG SOLEH." Jika semasa hidup kita, kita ada ajar/share ilmu yang baik dan orang yang diajarkan itu menyampaikannya pula pada orang lain,maka pahala kita tidak akan putus-putus selagi mana ilmu itu disebar dan diguna pakai tetapi jika semasa hidup kita, kita ada ajar/share ilmu yang tidak baik, maka adalah sebaliknya..dosalah yang kita dapat selagi mana ilmu yang tidak baik itu disebar-sebar dan diguna pakai,na'uzubillah..sebab tu la pentingnya kita mempelajari atau menuntut ilmu yang baik dan benar. Yang membezakan antara orang kufur dan orang yang beriman itu ialah ILMUNYA..so aku ada terbaca sket tentang ilmu ni,nak share la kat sini.hope ia dapat memberi manfaat


Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Di dalam Al-Qur-an Allah Ta’ala menyebutkan ilmu pada kedudukan yang terpuji, iaitu ilmu yang bermanfaat. Dan ada juga Dia menyebutkan ilmu pada kedudukan yang tercela, iaitu ilmu yang tidak bermanfaat.

Adapun yang pertama, seperti firman Allah Ta’ala,
قُل هَل يَستَوِى الَّذينَ يَعلَمونَ وَالَّذينَ لا يَعلَمونَ ۗ

“… Katakanlah: ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ?’…” [Az-Zumar: 9]

Firman Allah Ta’ala,
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا إِلٰهَ إِلّا هُوَ وَالمَلٰئِكَةُ وَأُولُوا العِلمِ قائِمًا بِالقِسطِ ۚ لا إِلٰهَ إِلّا هُوَ العَزيزُ الحَكيمُ

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [Ali ‘Imran: 18]

Firman Allah Ta’ala.
وَقُل رَبِّ زِدنى عِلمًا

“… Dan katakanlah: ‘Ya Rabb-ku, tambahkanlah ilmu kepadaku.’” [Thaahaa: 114]

Firman Allah Ta’ala.
إِنَّما يَخشَى اللَّهَ مِن عِبادِهِ العُلَمٰؤُا۟

“… Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama.” [Faathir: 28]

Firman Allah Ta’ala tentang kisah Adam dan pelajaran yang baginda dapat dari Allah tentang nama-nama segala sesuatu, dan memberitahukannya kepada para Malaikat. Para Malaikat pun berkata, “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha bijak­sana.’” [Al-Baqarah: 32]

Dan firman Allah Ta’ala mengenai kisah Nabi Musa dengan Nabi Khidhir. Nabi Musa berkata kepadanya,
قالَ لَهُ موسىٰ هَل أَتَّبِعُكَ عَلىٰ أَن تُعَلِّمَنِ مِمّا عُلِّمتَ رُشدًا

“Boleh kah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” [Al-Kahfi: 66]

Ini semua adalah ilmu yang bermanfaat. Dan terkadang Allah Ta’ala mengabarkan keadaan suatu kaum yang diberikan ilmu, namun ilmu yang ada pada mereka tidak bermanfaat. Ini adalah ilmu yang bermanfaat padahakikat nya, namun pemiliknya tidak mengambil manfaat dari ilmunya itu. Allah Ta’ala berfirman,
مَثَلُ الَّذينَ حُمِّلُوا التَّورىٰةَ ثُمَّ لَم يَحمِلوها كَمَثَلِ الحِمارِ يَحمِلُ أَسفارًا ۚ بِئسَ مَثَلُ القَومِ الَّذينَ كَذَّبوا بِـٔايٰتِ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ لا يَهدِى القَومَ الظّٰلِمينَ

“Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak meng­amal kannya) adalah seperti keldai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangat lah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” [Al-Jumu’ah: 5]

Adapun ilmu yang Allah Ta’ala sebutkan pada kedudukan tercela, iaitu ilmu sihir seperti firman-Nya,
وَما يُعَلِّمانِ مِن أَحَدٍ حَتّىٰ يَقولا إِنَّما نَحنُ فِتنَةٌ فَلا تَكفُر ۖ فَيَتَعَلَّمونَ مِنهُما ما يُفَرِّقونَ بِهِ بَينَ المَرءِ وَزَوجِهِ ۚ وَما هُم بِضارّينَ بِهِ مِن أَحَدٍ إِلّا بِإِذنِ اللَّهِ ۚ وَيَتَعَلَّمونَ ما يَضُرُّهُم وَلا يَنفَعُهُم ۚ وَلَقَد عَلِموا لَمَنِ اشتَرىٰهُ ما لَهُ فِى الءاخِرَةِ مِن خَلٰقٍ ۚ وَلَبِئسَ ما شَرَوا بِهِ أَنفُسَهُم ۚ لَو كانوا يَعلَمونَ

“… Mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak memberi manfaat. Dan sungguh mereka sudah tahu barang siapa membeli (menggunakan sihir) itu, niscaya tidak mendapat keuntungan di akhirat. Sungguh sangat buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka mengetahui.” [Al-Baqarah: 102]

Dan firman Allah Ta’ala,
يَعلَمونَ ظٰهِرًا مِنَ الحَيوٰةِ الدُّنيا وَهُم عَنِ الءاخِرَةِ هُم غٰفِلونَ

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (tampak) dari kehidupan dunia, sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai.” [Ar-Ruum: 7]

Karena itulah As-Sunnah membagi ilmu menjadi ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak bermanfaat, juga mengan­jurkan untuk berlindung dari ilmu yang tidak bermanfaat dan memohon kepada Allah Ta’ala ilmu yang bermanfaat. [1]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H) rahimahullaah mengatakan, “Ilmu adalah apa yang dibangun di atas dalil, dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Terkadang ada ilmu yang tidak berasal dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tetapi dalam urusan duniawi, seperti ilmu kedoktoran, ilmu hitung, ilmu pertanian, dan ilmu perdagangan.” [2]

Imam Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) rahimahullaah mengatakan, “Ilmu yang bermanfaat menunjukkan pada dua hal.

Pertama, mengenal Allah Ta’ala dan segala apa yang menjadi hak-Nya berupa nama-nama yang indah, sifat-sifat yang mulia, dan perbuatan-perbuatan yang agung. Hal ini mengharuskan adanya pengagungan, rasa takut, cinta, harap, dan tawakkal kepada Allah serta ridha terhadap takdir dan sabar atas segala musibah yang Allah Ta’ala berikan.

Kedua, mengetahui segala apa yang diredhai dan dicintai Allah ‘Azza wa Jalla dan menjauhi segala apa yang dibenci dan dimurkai-Nya berupa keyakinan, perbuatan yang lahir dan batin serta ucapan. Hal ini mengharuskan orang yang meng­etahuinya untuk bersegera melakukan segala apa yang dicintai dan diridhai Allah Ta’ala dan men jauhi segala apa yang dibenci dan dimurkai-Nya. Apabila ilmu itu menghasilkan hal ini bagi pemiliknya, maka inilah ilmu yang bermanfaat. Kapan saja ilmu itu bermanfaat dan menancap di dalam hati, maka sungguh, hati itu akan merasa khusyu’, takut, tunduk, mencin­tai dan mengagungkan Allah ‘Azza wa Jalla, jiwa merasa cukup dan puas dengan sedikit yang halal dari dunia dan merasa kenyang dengannya sehingga hal itu menjadikan nya qana’ah dan zuhud di dunia.” [3]

Imam Mujahid bin Jabr (wafat th. 104 H) rahimahullaah mengatakan, “Orang yang faqih (pintar) adalah orang yang takut kepada Allah Ta’ala meskipun ilmunya sedikit. Dan orang yang bodoh adalah orang yang berbuat durhaka kepada Allah Ta’ala meskipun ilmunya banyak.” [4]

Perkataan beliau rahimahullaah menunjukkan bahwa ada orang yang menuntut ilmu dan mengajarkan nya, namun ilmu tersebut tidak bermanfaat bagi orang tersebut kerana tidak membawanya kepada ketaatan kepada Allah Ta’ala.

Imam Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) rahimahullaah mengatakan, “Ilmu yang paling utama adalah ilmu tafsir Al-Qur-an, pen­jelasan makna hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan pembahasan tentang masalah halal dan haram yang diriwayatkan dari para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan para imam terkemuka yang mengikuti jejak mereka…” [5]

Imam al-Auza’i (wafat th. 157 H) rahimahullaah ber kata, “Ilmu itu apa yang dibawa dari para Sahabat Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, adapun yang datang dari selain mereka bukanlah ilmu.” [6]

Beliau juga mengatakan, “Ilmu yang paling utama adalah ilmu tafsir Al-Qur-an, penjelasan makna hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan pembahasan tentang masalah halal dan haram yang diriwayatkan dari para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan para imam terkemuka yang mengikuti jejak mereka…” [7]

Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullaah mengatakan, Seluruh ilmu selain Al-Qur-an hanyalah menyibukkan, kecuali ilmu hadits dan fiqih dalam rangka mendalami ilmu agama.

Ilmu adalah yang tercantum di dalamnya: ‘Qaalaa, had-datsanaa (telah menyampaikan hadits kepada kami)’. Adapun selain itu hanyalah was was (bisikan) syaitan. [8]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan perumpamaan kepada kita mengenai orang yang faham tentang agama Allah Ta’ala, ia memperoleh manfaat dari ilmunya dan memberikan manfaat kepada orang lain. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan perumpamaan orang yang tidak menaruh perhatian pada ilmu agama, dengan kelalaian nya itu mereka menjadi orang yang merugi dan bangkrut.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengan­nya laksana hujan deras yang menimpa tanah. Di antara tanah itu ada yang subur. Ia menerima air lalu menumbuhkan tanaman dan rumput yang banyak. Di antaranya juga ada tanah kering yang menyimpan air. Lalu Allah memberi manusia manfaat darinya sehingga mereka minum darinya, mengairi tanaman, dan berladang dengannya. Hujan itu juga mengenai jenis (tanah yang) lain iaitu yang tandus, yang tidak menyimpan air, tidak pula menumbuhkan tanaman. Itulah perumpamaan orang yang memahami agama Allah, lalu ia mendapat manfaat dari apa yang Allah mengutus aku dengan­nya. Juga perumpamaan atas orang yang tidak menaruh perhatian terhadap nya. Ia tidak menerima petunjuk Allah yang dengannya aku diutus.” [9]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika datang membawa ajaran agama Islam, beliau mengumpamakannya dengan hujan yang diperlukan manusia. Keadaan manusia sebelum diutus Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam seperti tanah yang kering, gersang dan tandus. Kemudian kedatangan baginda membawa ilmu yang bermanfaat menghidupkan hati-hati yang mati sebagaimana hujan menghidupkan tanah-tanah yang mati.

Kemudian beliau mengumpamakan orang yang mendengar ilmu agama dengan berbagai tanah yang terkena air hujan, di antara mereka adalah orang alim yang mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya. Orang ini seperti tanah subur yang menyerap air sehingga dapat memberi manfaat bagi dirinya, kemudian tanah tersebut dapat menumbuhkan tumbuh-tumbuhan sehingga dapat memberi manfaat bagi yang lain.

Di antara mereka ada juga orang yang menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu namun dia tidak mengamalkannya, akan tetapi dia mengajarkannya untuk orang lain. Maka, dia bagaikan tanah yang tergenangi air sehingga manusia dapat memanfaatkannya. Orang inilah yang disebut dalam sabda beliau, “Allah memperindah seseorang yang mendengar perkataan-perkataanku dan dia mengajarkan nya seperti yang dia dengar.” Di antara mereka ada juga yang mendengar ilmu namun tidak menghafal/menjaganya serta tidak menyampaikannya kepada orang lain, maka perumpamaannya seperti tanah yang berair atau tanah yang gersang yang tidak dapat menerima air sehingga merosak tanah yang ada di sekelilingnya.

Dikumpulkannya perumpamaan bahagian pertama dan kedua disebabkan keduanya sama-sama bermanfaat. Sedangkan dipisahkannya bahagian ketiga disebabkan tercela dan tidak bermanfaat.

Jadi, perumpamaan hadits di atas terdiri dari 2 (dua) kelompok. Perumpamaan pertama telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan perumpamaan kedua, bahagian pertamanya adalah orang yang masuk agama Islam namun tidak mengamalkan dan tidak mengajarkannya. Kelompok ini diumpamakan dengan tanah tandus sebagaimana yang diisyaratkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Orang yang tidak menaruh perhatian terhadapnya.” Atau dia berpaling dari ilmu sehingga dia tidak dapat memanfaatkannya dan tidak pula dapat memberi manfaat kepada orang lain.

Adapun bahagian kedua adalah orang yang sama sekali tidak memeluk agama, bahkan telah disampaikan kepadanya pengetahuan tentang agama Islam, tetapi ia mengingkari dan kufur kepadanya. Kelompok ini diumpamakan dengan tanah datar yang keras, dimana air mengalir di atasnya, tetapi tidak dapat memanfaatkannya. Hal ini diisyaratkan dengan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Dan tidak peduli dengan petunjuk Allah yang aku diutus dengannya.”

Ath-Thibi berkata, “Manusia terbahagi menjadi dua”.

Pertama, manusia yang memanfaatkan ilmu untuk dirinya namun tidak mengajarkannya kepada orang lain.

Kedua, manusia yang tidak memanfaatkan ilmu bagi dirinya, namun ia mengajarkan kepada orang lain.”

Menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalani, kategori pertama masuk dalam kelompok pertama. Sebab, secara umum manfaatnya ada walaupun tingkatan nya berbeza. Begitu juga dengan tanaman yang tumbuh, di antaranya ada yang subur dan memberi manfaat kepada manusia dan ada juga yang kering. Adapun kategori kedua walaupun dia mengerjakan hal-hal yang wajib dan meninggalkan yang sunnah, sebenarnya dia termasuk kelompok kedua seperti yang telah kami jelaskan; dan sean­dainya dia meninggalkan hal-hal wajib, maka dia adalah orang fasik dan kita tidak boleh mengambil ilmu darinya.

Orang seperti ini termasuk dalam sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Orang yang tidak menaruh perhatian terhadap nya.” [10]

Memandangkan aku ni seorang yang menyampaikan ilmu,agak gerun jugakla sebab aku takut sangat-sangat kalau aku ada tersilap atau tersalah dalam menyampaikan ilmu.Moga Allah mengampunkan dosa-dosaku...ya Allah...

0 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...